PENDAHULUAN
Dalam buku “Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer” yang ditulis oleh Jujun S. Suriasumantri, didalamnya
ia mendeskripsikan asumsi secara rinci dengan menghadirkan sebuah cerita dengan
lakon dua tokoh penembak yang memiliki latar belakang yang berbeda, pertama
seorang penembak ulung dan yang kedua seorang petani yang tidak mempunyai
pengalaman dalam dunia tembak, lalu keduanya dipertemukan dalam sebuah arena
adu tembak, dan dari sinilah asumsi mulai bermunculan dari berbagai pihak untuk
mengambil peruntungan siapa yang akan mereka jagokan? Mereka pun mulai berspekulasi agar tidak
salah dalam memilih orang yang akan mereka jagokan. Kemungkinan yang pertama
tentunya kemenangan sangat jelas berpihak kepada si penembak ulung jika dilihat
dari pengalaman yang telah dia jalani dalam dunia tembak, dan kemungkinan
tersebut sangatlah besar peluangnya untuk lolos menjadi pemenang. Lalu disana
pun masih ada kemungkinan kedua yaitu keberuntungan si petani untuk lolos
menjadi pemenang, walaupun keahlian menembak tak dia kuasai, tetapi paling
tidak masih ada sedikit peluang untuknya agar menjadi pemenang dalam adu tembak
ini. Setelah menyimak cerita tersebut kita pun mulai ikut berasumsi
(menduga-duga) manakah yang akan lolos menjadi pemenang? Si jago tembak kah
sesuai dengan hukum alam yang berlaku? Atau si petani kah karena peluang yang
dimilikinya membawa dia kepada keberuntungan?
Asumsi dalam kajian filsafat ilmu
tergolong ke dalam kelompok ontologi, yaitu bab yang membahas tentang hakikat
yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk konkret atau
abstrak (Bakhtiar; 2004)[1].
Asumsi berperan sebagai dugaan/ andaian terhadap objek empiris untuk memperoleh
pengetahuan. Ia diperlukan sebagai arah atau landasan bagi kegiatan penelitian
sebelum sesuatu yang diteliti tersebut terbukti kebenarannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
Secara bahasa “Ontologi”
berasal dari bahasa Yunani yaitu yang terdiri dari dua kata, yaitu “on” yang
merupakan bentuk netral dari “oon” dengan bentuk genitifnya “ontos” yang
bermakna “yang ada” atau “pengada”, dan “logos” yang bermakna “ilmu”.[2]
Maka dapat disimpulkan bahwa ontologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang yang
ada.
Sedangkan
pengertian “Ontologi” secara istilah dikemukakan oleh beberapa ahli filsafat,
seperti Suriasumantri yang mendefinisikan ontologi sebagai ilmu yang membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh yang kita ingin tahu, atau
dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[3]
Suriasumantri juga menyatakan bahwa ontologi itu adalah penjelasan tentang
keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar atau hal yang paling
mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu.[4]
Sedangkan menurut Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM (2003), ontologi adalah ilmu yang
membahas tentang apa hakikat ilmu itu, dan apa hakikat kebenaran dan kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi
filsafat tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.[5]
Maka dari beberapa
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa ontologi adalah ilmu yang membahas
tentang hakikat yang “ada” serta mengkaji hakikat kebenaran dari yang “ada” itu
dengan tidak mengabaikan bukti yang empiris dan persepsi filsafat tentang apa
dan bagaimana yang “ada” itu.
Ontologi dalam
filsafat merupakan bidang yang mencoba untuk mencari hakikat tentang “sesuatu”,
di dalam proses pencariannya ini maka asumsi dibutuhkan untuk mengatasi
penelaahan suatu permasalahan tersebut menjadi meluas. Asumsi menjadi suatu
landasan berfikir sebelum hakikat kebenaran dalam pengetahuan tersebut tampak
adanya.
B. Asumsi
Idealnya
ilmu pengetahuan bebas asumsi. Ini dikarenakan ilmu pengetahuan sebenarnya
berasal dari kritik terhadap filsafat idealisme yang selalu terjebak dalam
asumsi. Ilmu pengetahuan ingin membuang asumsi-asumsi yang tak berdasar dan
menggantikannya dengan sebuah pemikiran yang murni Induksi. Berasal dari
pengamatan yang jelas tanpa terjebak dengan teori-teori lalu yang bisa salah.
Semua pernyataan harus dibuktikan secara empiris.
Sayangnya
hal semacam ini sangat tidak mungkin. Ilmu pengetahuan akan selalu menyimpan
asumsi di dalamnya. Dalam sebuah percobaan seorang ilmuan tidak bisa tidak
terperangkap dalam sebuah kondisi sosio-historis-kultural. Misal, dalam sebuah
percobaan beberapa orang ilmuan mencoba mengetahui apa saja yang mempengaruhi
titik didih sebuah benda. Dia kemudian meletakkan air di sebuah teko besi dan
merebus benda itu dengan api. Kemudian berturut-turut mereka memakai teko
perunggu, teko emas, teko perak. Ini untuk menentukan apakah wadah
mempengaruhi titik didih air. Salah seorang filsuf lewat sambil mengorek-orek
hidungnya. “Eh, kenapa kalian merebus benda itu?”. Ilmuan-ilmuan itu kemudian
menjawab “Eh, kami sedang mengadakan percobaan dengan merebus benda itu?” Sang
filsuf kemudian bertanya “Tidakkah kalian pikir bahwa warna juga mempengaruhi,
bagaimana kalau kalian coba wadah dengan berbagai warna”. Para ilmuan tertawa
“Mana mungkin warna mempengaruhi titik didih”. Ini menunjukkan bahwa sebelum
melakukan penelitian ilmuan sudah memiliki asumsi. Asumsi itu adalah bahwa beda
jenis wadah akan mempengaruhi titik didih api, bukan warna. Mereka juga tidak
memilih penelitian dalam berbagai bentuk wadah. Ini artinya sebelum penelitian dilakukan,
mereka sudah memiliki asumsi sehingga akan berpengaruh dengan penelitian.
Dari cerita di
atas, asumsi dapat diartikan sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar atau
landasan berfikir karena dianggap benar. Sedangkan pengertian asumsi dalam
filsafat ilmu ini merupakan anggapan/ andaian dasar tentang realitas suatu objek
yang menjadi pusat penelaahan atau pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah
yang diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi anggapan orang atau pihak tentang
realitas bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang dan kacamata apa. Ernan McMullin seorang Professor Emeritus filsafat di Universitas
of Notre Dame, USA (2002) pun menyatakan tentang pentingnya keberadaan asumsi
dalam suatu ilmu pengetahuan, ia mengatakan bahwa hal yang mendasar yang harus
ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan
suatu objek sebelum melakukan penelitian[6].
Dalam mendapatkan pengetahuan seorang ilmuwan/ peneliti harus
membuat bermacam asumsi mengenai objek-objek empiris karena dalam menentukan
asumsi hanya bisa dilakukan oleh si ilmuwan/ peneliti sendiri sebelum melakukan
kegiatan penelitian, apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari suatu ilmu
yang akan ditelitinya. Semakin banyak asumsi akan semakin sempit ruang gerak
penelitiannya. Asumsi diperlukan karena pernyataan asumtif
inilah yang memberi arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan. Suriasumantri
menyatakan bahwa sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama bisa menerima
asumsi yang dikemukakan.[7] Semua
ilmu mempunyai asumsi-asumsi ini, baik yang dinyatakan secara tersirat maupun
secara tersurat. Secara garis
besar kita mengambil contoh dua bidang ilmu yang berbeda yaitu antara ilmu social
dan sains. Petama, dalam ilmu
ekonomi (salah satu cabang ilmu social), asumsi dikenal dengan istilah Cateris
Paribus, istilah ini seringkali digunakan sebagai suatu asumsi yang
menyederhanakan beragam formulasi dan deskripsi dari berbagai anggapan ekonomi,[8]
contohnya asumsi akan harga suatu barang, dinyatakan bahwa harga barang akan
meningkat ketika permintaan terhadap barang tersebut meningkat. Kedua, dalam ilmu sains, asumsi
disebut dengan istilah Kausalitas, yaitu suatu asumsi dasar yang
dibangun oleh hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua
(akibat/ dampak) yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari
yang pertama[9],
contohnya asumsi tentang hujan, dinyatakan
bahwa adanya awan tebal dan langit gelap/ mendung merupakan pertanda akan
turun hujan, hal tersubut bukanlah suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah
demikian, kejadian tersebut akan terus berulang dengan pola yang sama.
Dalam
mengembangkan ilmu, kita harus bertolak dengan mempunyai asumsi/ anggapan yang
sama mengenai hukum-hukum alam dan objek yang akan ditelaah oleh ilmu baik itu
dalam ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial. Ilmu alam membahas asumsi mengenai
zat, ruang, dan waktu. Ilmu sosial mengedepankan membahas asumsi mengenai
manusia.
1. Asumsi Mengenai Hukum Alam
Suatu peristiwa alam tak luput dari
adanya asumsi, semuanya tidaklah terjadi secara kebetulan saja, namun memiliki
pola yang tetap dan teratur, seperti langit mendung pertanda akan turun hujan
walaupun masih terdapat peluang kecil disana bahwa hujan pun terkadang tidak
turun meski langit telah berubah menjadi mendung, akan tetapi kejadian langit
mendung kemudian turun hujan sering kali terulang dan menjadi suatu sistem yang
teratur. Asumsi terhadap hukum alam ini pun berbeda-beda menurut kelompok
penganut paham berikut ini:
a.
Deterministik
Kelompok penganut paham ini menganggap hukum alam tunduk kepada
hukum alam yang bersifat universal (determinisme). William Hamilton dan Thomas
Hobbes dua orang tokoh yang menyimpulkan bahwa pengetahuan bersifat empiris
yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Pada kenyataannya
ilmu sains lebih kental dengan sifat deterministik ini jika dibandingkan
dengan ilmu social, contohnya perhitungan tahun dinyatakan bahwa dalam
satu tahun terdapat 12 bulan, 365 hari, 8760 jam, dst.
b.
Pilihan bebas
Kelompok penganut paham ini menganggap hukum yang mengatur itu
tanpa sebab karena setiap gejala alam merupakan pilihan bebas. Penganut ini
menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya tanpa terikat
hukum alam. Kebalikan dari deterministik bahwa ilmu social menemukan
banyak karakteristiknya disini dibandingkan dengan ilmu sains, contohnya
seorang pengusaha baju ingin membuka satu cabang perusahaan di wilayah
pedalaman Irian Jaya yang penduduknya tidak mengetahui tentang fashion serta
belum mengetahui cara berpakaian, apakah perusahaannya akan mengalami
kesuksesan disana? tentunya dia dihadapkan diantara dua pilihan “ya” atau
“tidak”. Asumsi yang pertama, “ya” dia akan mengalami kesuksesan karena dia
menjadi pelopor di wilayah tersebut, dia akan memperkenalkan kepada penduduk
setempat apa itu pakaian, bagaimana penggunaannya, serta apa keuntungannya,
bahkan dia menjadi satu-satunya trendsetter di tempat itu, sehingga seluruh
penduduk disana hanya akan membeli pakaian hanya dari hasil produksinya. Asumsi
yang kedua, “tidak” akan mengalami kesuksesan karena dia akan menghadapi
kerugian besar disebabkan tak ada satu penduduk pun yang akan membeli
produknya, memang karena mereka telah terbiasa menggunakan koteka saja
tanpa pakaian lengkap atau trendy. Dari kedua asumsi tersebut, keduanya adalah
pilihan bebas dan orang bisa bebas memilih salah satu diantaranya sesuai dengan
asumsi yang diyakininya.
c.
Probabilistik
Kelompok penganut paham ini berada diantara
deterministik dan pilihan bebas yang menyatakan bahwa gejala umum yang
universal itu memang ada namun sifatnya berupa peluang (probabilistik). Seperti
yang kita ketahui sebelumnya bahwa hukum alam tunduk kepada hukum alam
(deterministik) akan tetapi suatu kejadian tertentu tidak harus selalu
mengikuti pola tersebut. Jujun (1992) memaparkan bahwa ilmu itu tidak
mengemukakan kalau X selalu mengakibatkan Y, melainkan X memiliki peluang yang
besar untuk mengakibatkan terjadinya Y[10].
Sebagai contoh sederhananya, langit mendung pertanda akan turun hujan
(sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya), memang disana terdapat peluang besar
akan datangnya hujan, tetapi masih ada peluang kecil didalamnya bahwa tidak
akan datang hujan walaupun langit telah mendung.
Ilmu mempelajari tentang hukum alam. Agar ilmu
itu ada kita harus mengasumsikan bahwa hukum yang mengatur semua kejadian itu
ada. Tanpa asumsi itu berbagai ilmu tidak bisa lahir. Hukum diartikan sebagai
aturan main atau pola kejadian yang diikuti sebagian besar orang, gejalanya
berulang kali dapat diamati dan menghasilkan hasil yang sama. Ilmu tidak
mempelajari kejadian yang seharusnya melainkan mempelajari kejadian sebagaimana
adanya.
Aliran determinisme ini berlawanan dan
ditentang oleh penganut paham fatalisme dan penganut paham pilihan bebas.
Menurut aliran fatalisme bahwa semua kejadian ditentukan oleh nasib yang telah
ditetapkan lebih dulu. Jika kita ingin hukum kejadian itu berlaku bagi seluruh
manusia maka kita bertolak dari paham determinisme. Jika kita ingin hukum
kejadian yang pas bagi tiap individu kita berpaling pada paham pilihan bebas.
Sedangkan jika kita memilih posisi di tengah mengantarkan kita pada paham
probabilistik. Jika kita menginginkan hukum yang bersifat mutlak dan universal,
kesulitannya adalah dalam kemampuan manusia untuk memenuhi semua kejadian.
Misalnya matahari selalu terbit dari timur, beranikah kita menyimpulkan bahwa
kapan matahari akan terbit dari barat?
Di lain pihak jika menginginkan keunikan
individual seperti yang diikuti paham pilihan bebas, maka akan ada kesulitan
dalam hal praktis dan ekonomis. Kompromi di antara kutub determinisme dan paham
pilihan bebas, ilmu menjatuhkan pilihannya pada asumsi atau penafsiran
probabilistik (bersifat peluang).
2. Asumsi
dalam Ilmu
Ilmu yang paling maju yaitu fisika karena mempunyai
cakupan objek zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica
(1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat
absolut dan dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Sedangkan
Einstein berbeda pendapat dengan Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat
komponen itu bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut.
Asumsi dalam ilmu sosial lebih rumit.
Masing-masing ilmu sosial mempunya berbagai asumsi mengenai manusia. Siapa
sebenarnya manusia? Jawabnya tergantung kepada situasinya : dalam kegiatan
ekonomis maka dia makhluk ekonomi, dalam politik maka dia political animal,
dalam pendidikan dia homo educandum. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam
pengembangan asumsi:
a.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan
pengkajian disipin keilmuan.
b.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan
dasar bagi pengkajian teoretis.
c.
Asumsi harus
positif bukan normatif.
d.
Asumsi harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya bukan bagaimana keadaan yang seharusnya.
Dalam kegiatan
ekonomis manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ dan inilah yang dijadikan
sebagai pegangan. Asumsi seperti ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan
atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, Namun penetapan asumsi yang
berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam
analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan
sesungguhnya berdasarkan keadaan yang sebenarnya. Seseorang ilmuwan harus
benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda, maka akan berbeda pula konsep pemikiran yang
dipergunakan.
3. Asumsi Mengenai Objek Empiris
Dalam mendapatkan pengetahuan, seorang ilmuwan melakukan berbagai
macam asumsi mengenai objek-objek empiris. Asumsi diperlukan sebagai landasan
dan penunjuk arah dalam kegiatan penelaahan mereka. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian
hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompat suatu bagian
jalur penalaran yang sedikit atau hampa fakta dan data sekalipun[11].
Adapun beberapa
ilmu yang mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris, yaitu:
a.
Menganggap bahwa
objek-objek tertentu mempunyai kesamaan satu sama lain. Seperti dalam hal bentuk, struktur, dan
sifat. Berdasarkan ini, maka dapat dikelompokkan beberapa objek yang serupa ke
dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama
terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taksonomi merupakan cabang keilmuan
pertama yang menggunakan teori ini. Setelah taksonomi, mulai berkembang konsep
perbandingan atau komparatif. Dengan klasifikasi ini, maka individu dalam satu
kelas tertentu mempunyai ciri-ciri yang serupa. Contohnya seperti yang
dilakukan oleh Linnaeus (1707-1778), seorang biolog yang mengklasifikasikan
hewan dan tumbuhan sesuai dengan kelas tertentu.
b.
Menganggap
bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan
keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam keadaan tertentu.
Kegiatan ini tidak mungkin dilakukan apabila objek selalu berubah-ubah tiap
waktu. Walaupun tidak mungkin menuntut adanya kelestarian yang relatif atau
sifat-sifat pokok suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu,
misalnya ilmu yang mempelajari tentang benda-benda ruang angkasa, planet-planet
memperlihatkan perubahannya dalam jangka waktu yang relativ lama.
c.
Menganggap bahwa
setiap gejala bukan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala
mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan yang sama dan
gejala itu akan mengikiti pola yang ada. Misalnya sate yang dibakar akan
mengeluarkan bau sedap yang menggugah selera makan. Ini bukanlah suatu
kebetulan sebab memang sudah seperti itu hakekatnya suatu pola, karena sate
apabila dibakar akan selalu menimbulkan bau yang merangsang selera. [12]
BAB III
KESIMPULAN
Keberadaan asumsi sebagai bagian dari filsafat
ilmu merupakan hal yang sangat penting karena asumsi berfungsi sebagai bagian yang mendasar yang harus ada. Asumsi memiliki posisi di berbagai
bidang disiplin keilmuwan bahkan keberadaan asumsi pun ada dalam hukum alam
sekalipun karena segala yang terjadi di alam ini bukanlah suatu kebetulan
semata akan tetapi terdapat pola-pola tertentu yang terus terulang. Sedangkan dalam
ontologi suatu ilmu pengetahuan menentukan asumsi pokok (the standard presumption) dari keberadaan suatu objek penelitian dilakukan
sebelum pelaksanaan penelitian oleh si peneliti itu sendiri, karena asumsi akan
dapat memberi arah
dan landasan bagi kegiatan penelaahan.
Dalam
mendapatkan pengetahuan seorang ilmuwan harus dapat melakukan berbagai macam
asumsi mengenai objek-objek empiris. Asumsi ini akan menjadi penunjuk arah baginya
dalam kegiatan penelaahan. Semakin banyak asumsi akan semakin sempit ruang
gerak penelitiannya.
Jika si
peneliti mendapatkan asumsi yang benar maka asumsi tersebut akan menjembatani
tujuan penelitiannya sampai kepada penarikan kesimpulan dari hasil pengujian
hipotesis. Bahkan asumsi tersebut berguna sebagai jembatan untuk melompat dari suatu
bagian jalur penalaran yang sedikit atau hampa fakta dan data sekalipun.
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton.
1991. Ontologi: Metafisika Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Percetakan
Sinar Agape Press.
__________________.
2001. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Soetriono, dkk.
2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian. Yogyakarta: Andi.
Tim Dosen
Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM. 2003. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta
Amrull4h99.
Ontologi (Metafisika, Asumsi, dan Peluang). http://amrull4h99.wordpress.com/2009/10/01/ontologi-metafisika-asumsi-dan-peluang/. 10/09/2011.
Bintarawati,
Dwining. Asumsi dalam Ilmu (Ontologi Filsafat
Ilmu bag. 3) http://catatannana.blogspot.com/2010/12/ontologi-dalam-filsafat-ilmu-rangkuman.html.
10/09/2011.
Fendy, Ridwan. Asumsi dan Ilmu. http://www.filsafatilmu.com/artikel/objek-kajian/asumsi-dan-ilmu-2.
10/09/2011.
____________. Asumsi dan ilmu (3) Asumsi Dasar Ilmu. http://www.filsafatilmu.com/artikel/objek-kajian/asumsi-dan-ilmu-3-asumsi-dasar-ilmu. 10/09/2011.
Hilda. Ontologi Pengetahuan. http://hilda08.wordpress.com/filsafatilmu_ontologi-pengetahuan/.10/09/2011.
Jannah, Miftahul. Ontologi
(Asumsi). http://naomiputri.blogspot.com/2009/01/asumsi.html. 10/09/2011.
[2]
Anton Bakker, Ontologi: Metafisika Umum, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1991),
hal. 16
[3]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001), hal. 5
[4]
Soetriono dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian (Yogyakarta:
Andi, 2007), hlm 61.
[5]
Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hal. 12
[7]
Jujun S. Suriasumantri, opcit, hlm 6.
[10]
Jujun S. Suriasumantri, opcit, hal. 8
[12]
Jujun S. Suriasumantri, opcit, hlm 7.
thanks ^^
BalasHapus